Sistem Tanam Paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 66 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Hakikat dari Cultuurstelsel adalah bahwa penduduk sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus, harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak tanah (Sartono Kartodirdjo 1999: 13). Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik culture stelsel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa ini lah menjadi era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda.
Adapun 7
aturan tanam paksa yaitu :
* Tanah
yang disediakan (1/5) bebas pajak, sisanya bayar pajak.
* Hasil
panen wajib diserahkan kepada pemerintah, setelah dipotong pajak, baru
diberikan kepada rakyat.
* Tenaga
mengelola tanah pemerintah (1/5) hanya 3 bulan.
* Bagi
yang tidak punya tanah, sumbang tenaga sebanyak 66x untuk tanah pemerintah.
* Jika
gagal panen bukan karena petani, ditanggung oleh pemerintah.
* Pelaksanaan
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) diserahkan seluruhnya kepada desa.
* Setiap
penduduk wajib menyerahkan 1/5 dari hasil lahannya dan wajib menanam di 1/5
yang tanamannya ditentukan oleh
pemerintah.
Pokok-Pokok Sistem Tanam Paksa
1)Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk
ditanami tanaman wajib.
2)Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang
disetor sebagai pajak.
3)Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan
dikembalikan.
4) Tenaga dan waktu
yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk
menanam padi.
5)Rakyat yang tidak
memiliki tanah wajib bekerja
selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik pemerintah.
6)Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi
tanggung jawab pemerintah.
7)Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada
para penguasa pribumi (kepala desa).
Untuk
mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan pada sistem
tradisional dan feodal. Para bupati
dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para bupati sebagai perantara tinggal meneruskan perintah
dari pejabat Belanda.Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan
dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh
dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.
Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang
menerapkan sistem cultuur procenten.
Cultuur procenten = prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi
penguasa pribumi / kepala desa yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi
target dengan tepat waktu.
Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam
sistem tanam paksa.
1)Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi
dari ketentuan 1/5.
2)Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak
3)Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja
di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
4)Kelebihan hasil tanam dari jumlah
pajak ternyata tidak dikembalikan.
5)Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.
Tanam paksa adalah era paling
eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh
lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran
pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada
jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman
tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal
pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Sistem Tanam Paksa ini benar-benar
dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan
negeri Belanda, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf
oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem
tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan
rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat
di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan mengakibatkan
kematian penduduk meningkat.
Adanya berita kelaparan
menimbulkan berbagai reaksi, baik dari
rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan
perlawanan tetapi tidak pernah berhasil, karena bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari
Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis
terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa yang dianggap berakibat menyengsarakan
rakyat jajahan. Masyarakat di negeri Belanda merasa malu dihadapan masyarakat
eropa lain, bahwa kemakmuran yang mereka capai diperoleh dari kesengsaraan
rakyat jajahan.
Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker
yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang
berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan
kolonial yang bersifat menindas dan
korup di Jawa. Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang
tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan
Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel
“Suiker Contracten” (perjanjian gula).
Menghadapi berbagai reaksi yang ada,
pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap.
Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU
Landreform (UU Agraria), yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah
penjajahan IndonesiaMeskipun Tanam Paksa sangat memberatkan rakyat, namun di
sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif
terhadap rakyat, yaitu:
1)terbukanya lapangan pekerjaan,
2)rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru
3)rakyat mengenal cara menanam yang baik
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar