Kamis, 30 April 2015

4.2. Kebijakan Sumber Daya Alam



4.2. Kebijakan Sumber Daya Alam
            Kebijakan pengelolaan sumber daya alam menimbulkan berbagai inkonsistensi.  Untuk permasalahan istilah saja bagaimana negara menempatkan diri terhadap sumber daya alam terdapat perbedaan antar kebijakan. Ada yang menggunakan kata penatagunaan, penguasaan hingga pengelolaan. Belum ada konsep yang baku dan dapat dipedomani mengenai “hak menguasai negara” terhadap bumi, air dan kekayaan alam sebagaimana diamanatkan dalam jiwa pasal 33 UUD 1945.
Dari segi visi misi kebijakan, Maria S. Soemardjono dkk. membuat penilaian sebagai berikut terhadap berbagai kebijakan terkait penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam: 

Kebijakan
Visi Misi
UU 5/1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria
konservasi sumber daya alam, bersifat pro-rakyat dan berfungsi sosial, anti monopoli swasta, pembatasan kepemilikan, dan mengedepankan nasionalisme
UU 11/1967 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Pertambangan
Eksploitasi bahan tambang dan pro-kapital.
UU 5/1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Konservasi dan pro-rakyat
UU 41/1999 tentang Kehutanan
Perimbangan eksploitasi dan konservasi, namun lebih cenderung eksploitasi, lebih pro-kapital daripada pro-rakyat
UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Eksploitasi dan pro-kapital
UU 7/2004 tentang Sumberdaya Air
Konservasi dan eksploitasi, fungsi sosial, dan ada kecenderungan pro-kapital dengan persyaratan ketersediaan
modal besar, teknologi tinggi, dan manajemen usaha yang ahli.
UU 31/2004 tentang Perikanan
Eksploitasi, pro-kapital meskipun ada perhatian terhadap untuk nelayan kecil.
UU 26/2007 tentang Penataan
Ruang
Konservasi dan pro-rakyat
UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – pulau Kecil (PWP3K)
Konservasi, dan eksploitasi, pro-rakyat, tetapi juga pro-kapital.
UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah
Konservasi, pro-rakyat sekaligus tetap membuka peluang pada kapital besar.

Selain itu kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah sedikit banyak juga menyumbang kesemrawutan pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam antara pusat dan daerah, antar daerah dan antar sektor. Penerbitan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di tingkat lokal seringkali sarat korupsi dan saling berbenturan dengan kebijakan pemerintah pusat, apalagi jika diterbitkan pada masa sekitar pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2010 saja, WALHI telah melaporkan sejumlah dugaan korupsi di daerah pada sektor sumber daya alam kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain kasus korupsi di Nunukan yang dilaporkan pada tanggal 8 April 2010; kasus alih fungsi secara illegal untuk pertambangan di Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur; serta kasus dugaan korupsi pada pemberian ijin IUPHHK HTI di Kabupaten Kepulauan Meranti.
Dukungan pemerintah terhadap keamanan berusaha bagi korporasi juga diwujudkan dalam dirumuskannya pasal-pasal kriminalisasi bagi pihak-pihak yang dianggap “menganggu”. Hal ini tercermin dalam berbagai UU, mulai dari UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
 
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar