4.2.
Kebijakan Sumber Daya Alam
Kebijakan pengelolaan
sumber daya alam menimbulkan berbagai inkonsistensi. Untuk
permasalahan istilah saja bagaimana negara menempatkan diri terhadap sumber
daya alam terdapat perbedaan antar kebijakan. Ada yang menggunakan kata
penatagunaan, penguasaan hingga pengelolaan. Belum ada konsep yang baku dan
dapat dipedomani mengenai “hak menguasai negara” terhadap bumi, air dan
kekayaan alam sebagaimana diamanatkan dalam jiwa pasal 33 UUD 1945.
Dari segi visi misi kebijakan, Maria S.
Soemardjono dkk. membuat penilaian sebagai berikut terhadap berbagai kebijakan
terkait penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam:
Kebijakan
|
Visi Misi
|
UU 5/1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria
|
konservasi sumber daya alam, bersifat
pro-rakyat dan berfungsi sosial, anti monopoli swasta, pembatasan
kepemilikan, dan mengedepankan nasionalisme
|
UU 11/1967 tentang Ketentuan–ketentuan
Pokok Pertambangan
|
Eksploitasi bahan tambang dan
pro-kapital.
|
UU 5/1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
|
Konservasi dan pro-rakyat
|
UU 41/1999 tentang Kehutanan
|
Perimbangan eksploitasi dan
konservasi, namun lebih cenderung eksploitasi, lebih pro-kapital daripada
pro-rakyat
|
UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
|
Eksploitasi dan pro-kapital
|
UU 7/2004 tentang Sumberdaya Air
|
Konservasi dan eksploitasi, fungsi
sosial, dan ada kecenderungan pro-kapital dengan persyaratan ketersediaan
modal besar, teknologi tinggi, dan
manajemen usaha yang ahli.
|
UU 31/2004 tentang Perikanan
|
Eksploitasi, pro-kapital meskipun ada
perhatian terhadap untuk nelayan kecil.
|
UU 26/2007 tentang Penataan
Ruang
|
Konservasi dan pro-rakyat
|
UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau – pulau Kecil (PWP3K)
|
Konservasi, dan eksploitasi,
pro-rakyat, tetapi juga pro-kapital.
|
UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah
|
Konservasi, pro-rakyat sekaligus tetap
membuka peluang pada kapital besar.
|
Selain itu
kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah sedikit banyak juga menyumbang
kesemrawutan pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam antara pusat dan
daerah, antar daerah dan antar sektor. Penerbitan kebijakan pengelolaan sumber
daya alam di tingkat lokal seringkali sarat korupsi dan saling berbenturan
dengan kebijakan pemerintah pusat, apalagi jika diterbitkan pada masa sekitar
pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2010 saja, WALHI telah melaporkan
sejumlah dugaan korupsi di daerah pada sektor sumber daya alam kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain kasus korupsi di Nunukan yang
dilaporkan pada tanggal 8 April 2010; kasus alih fungsi secara illegal untuk
pertambangan di Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara
Timur; serta kasus dugaan korupsi pada pemberian ijin IUPHHK HTI di Kabupaten
Kepulauan Meranti.
Dukungan
pemerintah terhadap keamanan berusaha bagi korporasi juga diwujudkan dalam
dirumuskannya pasal-pasal kriminalisasi bagi pihak-pihak yang dianggap “menganggu”.
Hal ini tercermin dalam berbagai UU, mulai dari UU No.18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan, UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(Minerba).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar